Bencana Akan Menghampirimu

So remember, Look at the Strars and not at your feet.

Hitam gelap Putih bercahaya

The wheel of Life runs.

Lautan itu Luas

There are Still many things we don't know about the World.

Jatuh bukan berarti Punah

We Fall for just a moment then get Up Again.

Berbeda Dikala Sudah Tidak Di Percaya

A single Black dot could Erase everything.

Friday, 9 July 2021

Kengerian Pembunuh Berantai Wanita - Dukun A.S


Ahmad Suradji (populer dipanggil Dukun AS; juga dikenal dengan nama Nasib Kelewang, Datuk; lahir 10 Januari 1949 – meninggal 10 Juli 2008 pada umur 59 tahun) adalah seorang pelaku pembunuhan terhadap 42 orang wanita yang mayatnya dikuburkan di perkebunan tebu di Desa Sei Semayang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara dari tahun 1986 hingga 1997.

Latar Belakang Pelaku

Nama aslinya adalah Nasib. Karena sering menggunakan kelewang saat melakukan pencurian lembu di kawasan Stabat, ia pun dipanggil "Nasib Kelewang" oleh teman-temannya.[1] Nama "Ahmad Suradji" disandangnya setelah keluar dari penjara karena tersandung kasus pencurian lembu, sedangkan nama Datuk diberikan teman-temannya karena ia menikahi tiga kakak beradik kandung dan tinggal serumah.

Sehari-hari Suradji bekerja sebagai petani. Ia hanya lulus SD dan mempunyai tiga orang istri dan sembilan anak. Pihak kepolisian pertama kali menemukan mayat salah seorang korban pada 27 April 1997, seorang wanita berusia 21 tahun bernama Sri Kemala Dewi. Seminggu kemudian, seorang saksi mengatakan bahwa pada hari Dewi menghilang, ia telah mengantarkan Dewi ke tempat tinggal Suradji. Polisi kemudian menemukan setumpuk pakaian dan perhiasan wanita di situ, di antaranya barang-barang milik Dewi. Suradjipun ditangkap.

Apakah Suradji sendiri mengaku bersalah tidak diketahui jelas. Ada sumber-sumber yang menyebut bahwa ia tidak mau mengaku, namun ada pula yang menyatakan bahwa ia telah mengakui perbuatannya. Dalam sebuah laporan, Suradji mengaku membunuh karena hendak menyempurnakan ilmu yang sedang dipelajarinya. Agar ilmunya sempurna, ia harus membunuh 70 orang wanita dan mengisap air liur korban. Ilmu ini sendiri ia dapati dari ayahnya saat ia masih berusia 12 tahun, meskipun perhatiannya terhadap ilmu tersebut baru mulai terasa saat ia mencapai usia 20 tahun.

Eksekusi

Pada tahun 27 April 1998, ia divonis mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan terhadap wanita-wanita tersebut. Ia dieksekusi pada Kamis 10 Juli 2008, tepatnya pukul 22.00 oleh tim eksekusi Brigadir Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sumatra Utara.

Hukuman Mati Ny Astini si Penjagal Maut

Matinya seorang penjagal


Astini Sumiasih atau lebih lengkap sering ditulis oleh media sebagai Nyonya Astini adalah pembunuh berantai dengan motif tersinggung saat ditagih hutang. Astini membunuh tiga penagih hutangnya, antara lain Puji Astutik, Rahayu, dan Sri Astutik. Astini memang terkenal sering meminjam uang kepada tetangga-tetangganya. Kepada Puji Astutik, ia berhutang Rp 20 ribu. Kepada Ibu Sukur atau Rahayu ia berhutang sebesar Rp 1.250.000. Kepada Sri Astutik Wijaya, ia berhutang Rp 250 ribu dan Rp 300 ribu. Semuanya ditolak untuk dibayar dan membuat si penagih berkata-kata kasar. Inilah yang kemudian menjadi dalih tersinggung saat dihina.

Pembunuhan terhadap Puji Astuti dilakukan pada Februari 1996, pukul 16.00 WIB di rumah Astini. Puji Astuti mengeluarkan kata-kata kasar saat menagih utang, yang membuat Astini tersinggung dan meraih sepotong besi lalu menghantamkannya ke kepala Puji. Setelah meregang nyawa, jenazahnya diseret ke dapur dan menutupnya dengan tikar. Pukul 2:00 dinihari, jenazah korban dimutilasi menjadi 10 bagian, yang kemudian ditebar ke berbagai tempat sampah dan sungai di Surabaya.

Potongan tubuh Puji Astuti kemudian ditemukan warga Kampung Wonorejo, Surabaya dalam kantong plastik di Sungai Wonorejo, yang kemudian diamankan polisi dan dan disimpan di kamar jenazah RSUD Dr. Soetomo. Jenazah diidentifikasi oleh keluarga korban, Agus Purwanto yang mengkonfirmasi itu adalah kepala kakanya, Puji Astuti, yang sebelumnya dilaporkan hilang. Kebetulan saksi melihat bahwa terakhir kali Puji Astuti sebelum hilang masuk ke rumah Astini di Kampung Malang.

Polisi segera menahan Astini dan menginterogasinya. Berdasarkan pengakuan Astini, ia melakukan hal serupa kepada Rahayu dan Sri Astutik yang juga hilang dari Kampung Malang. Kejahatannya juga sama persis, bermotif tersinggung karena ditagih hutang dengan kata-kata kasar. Ia juga memotong-motong tubuh keduanya menjadi sepuluh bagian.


Vonis dan Eksekusi

Setelah dihukum mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 17 Oktober 1996, Astini masih berupaya mengulur waktu eksekusi dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sembari menunggu banding, ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sukun Malang, Jatim. Hasilnya, bandingnya ditolak pada Januari 1997. Pengadilan Tinggi Jatim malah menguatkan putusan PN Surabaya. Ia lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 1997 MA kembali menguatkan putusan tersebut. Ia mencoba lagi PK ke MA yang juga ditolak. Permohonan Grasinya kepada Presiden juga tak dikabulkan. 

Sebelum eksekusi, Astini dipindah dari LP Sukun Malang ke Rutan Medaeng, Sidoarjo, lalu menjalani masa isolasi selama lima hari dari 15-19 Maret 2005. Ia dieksekusi pada 20 Maret 2005, dengan cara ditembak di daerah jantung oleh 12 personel regu tembak Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur, dengan enam peluru. Jasadnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah dokter Soetomo Surabaya, Jatim untuk diotopsi. Ia dinyatakan mati pukul 01.20 WIB. 

Pada tanggal 18 Maret 2005, Astini memakan makanan favoritnya berupa roti, cumi-cumi dan buah-buahan. Ia juga meninggalkan tiga pesan sebelum eksekusi.[baca: Permintaan Terakhir Astini Terpenuhi].

Hari eksekusi kemudian diberitahukan secara langsung oleh Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Surabaya Pratikto, SH. Sebab, salah satu aturan pelaksanaan pidana mati adalah jaksa harus memberitahu terpidana selama 3 x 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati. Setelah dieksekusi, jenazah Astini dikuburkan di tempat pemakaman umum Pemerintah Kota Surabaya di Wonokusumo Kidul, Surabaya. Ini sesuai permintaan keluarga Astini agar pemerintah yang mengurus pemakamannya.

Wednesday, 7 July 2021

Kisah Robot Gedek Pembantai Anak Kecil dan Babe Penyodom Anak Jalanan

Robot Gedek

Robot Gedek (Siswanto)

Robot Gedek alias Siswanto menghiasi pemberitaan sekitar tahun 1996 karena aksi kejamnya membantai anak-anak di bawah umur. Dirinya diketahui menyodomi dan membunuh korban dengan cara yang kejam, yakni dengan memotong-motong tubuh korban (mutilasi). Pria tuna wisma dan buta huruf ini terkenal dengan aksinya yang kejam. Sebab dia menyodomi 12 anak di bawah umur, dengan kemudian mereka dibunuh dengan disayat dan dipotong tubuh, sebelum akhirnya dibuang ke beberapa tempat seperti Pondok Kopi, Jakarta Timur dan sekitar rawa-rawa bekas Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat.


Menurut catatan Polres Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, dari 12 korban ini, hanya 8 jenazahnya yang berhasil ditemukan, di antaranya dua korban yakni Rio dan Wisnu yang dimutilasi menjadi beberapa bagian ditemukan di semak-semak Bandara Kemayoran. Siswanto mengaku melakukan itu sendirian. Dia Memotong-motong bagian tangan, kaki, dan kepala anak. Kedua anak ini sebelum dibunuh, terlebih dahulu disodomi. Atas perbuatannya, Robot Gedek ini sempat jadi buronan. Dirinya pun kabur ke daerah Jawa Tengah, hingga akhirnya berhasil dibekuk polisi pada 27 Juli 1996. Dalam sidangnya di Pengadilan Jakarta Pusat, Robot Gedek mengaku tak sadar dalam melakukan aksi kejamnya tersebut.

"Dalam bayangan saya, yang saya bunuh itu adalah ayam," ungkap dia waktu itu.

Meski telah melakukan pembelaan, pengadilan tetap menjatuhkannya hukuman mati dan akhirnya dimasukkan ke LP Nusakambangan, Cilacap. Namun, sebelum hukuman mati dilaksanakan, Robot Godek meninggal dunia lebih dulu karena serangan jantung pada 26 Maret 2007. 

Baikuni alias Babe

Baikuni alias Babe

Tak cuma kisah Robot Gedek. Publik dibuat kaget dengan kekejaman Baikuni alias Babe (59) yang menyodomi anak-anak jalanan. Pria asal Desa Mranggen RT 16/VI Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini dijatuhi hukuman mati karena melakukan sodomi terhadap belasan anak di bawah umur serta pembunuhan berantai terhadap 7 bocah, dengan empat di antaranya dengan cara dimutilasi.

Ditinggal mati sang istri, Babe kemudian kembali lagi ke Ibu Kota mencoba beradu nasib. Dia memulai hidupnya di kawasan Terminal Pulogadung menjadi penjual rokok dan memelihara anak jalanan dengan memberi mereka makan. Pola fikir negatif Babe pun muncul ketika hasrat seksualnya datang. Dirinya mencari pemuas hasratnya. Dia tidak perlu jauh-jauh mencarinya, cukup mengambil satu dari anak-anak jalanan yang dipeliharanya. Belakangan tidak cuma seks yang menyimpang. Jika tak mau melayani nafsu bejatnya, dia tak segan membunuh satu persatu dari mereka.

Aksi keji Babe diperkirakan sejak tahun 1998 dan pembunuhan cara mutilasi baru sejak tahun 2007. Beberapa korban Babe itu sendiri merupakan anak-anak jalanan, di antaranya Arif Kecil, yang mayatnya ditemukan di terminal Pulogadung, Jakarta Timur, dengan tubuh dipotong jadi empat bagian dan tanpa kepala, serta Adi yang mayatnya ditemukan di Pasar Klender, Cakung, Jakarta Timur, dengan tubuh korban dipotong menjadi dua bagian sebelum dibuang ke Pasar Klender, serta beberapa korban Babe lainnya yang dibunuh dengan cara yang sadis.

Dari hasil pemeriksaan psikolog Universitas Indonesia (UI) Prof Sarlito Wirawan bahwa Babe mengidap homoseksual, pedofilia ataupun ketertarikan seksual dengan anak di bawah umur, dan nekrofil yaitu tertarik berhubungan seksual dengan mayat. Kelainan kejiwaan ini dilatarbelakangi oleh masa kecil Babe yang sering mendapat kekerasaan psikologis dan pernah disodomi.

Atas perbuatannya, Babe pun dibekuk jajaran Polda Metro Jaya, serta dijatuhkan hukuman mati oleh Hakim Pengadilan Tinggi

Kasus Pembunuhan Berantai - (Rio Martil)

Antonius Rio Alex Bulo atau lebih dikenal dengan nama Rio Martil (lahir di Sleman, 2 Mei 1978 – meninggal di Karangtengah, Banyumas, 8 Agustus 2008 pada umur 30 tahun) adalah pembunuh berantai yang menghabisi korbannya menggunakan senjata berupa martil. Ia divonis hukuman mati oleh PN Purwokerto pada14 Mei 2001.

Rio Martil

Backgroud sang - Rio Martil 

Tidak banyak hal yang diketahui perihal masa kecil Rio. Namun, sejumlah sumber menyebut sedari kecil ia memang dikenal nakal. Tingkahnya membuat sang orang tua memindahkan Rio kecil dari Sleman ke Jakarta, untuk diasuh kakak sulungnya yang bertaut 12 tahun.

Namun, di Jakarta Rio malah semakin tak terkendali. Terlebih setelah ayahnya tidak lagi mau mengakuinya anak karena Rio menolak pindah agama mengikuti sang ayah. Rio kemudian banyak bergaul dengan preman Senen. Dari sini ia mulai kerap bolos sekolah, sebelum kemudian mengenal alkohol dan ganja. Kekerasan dan kejahatan menjadi karibnya. Beranjak dewasa, Rio menghidupi diri dengan berjualan surat-surat kendaraan palsu. Namun, setelah menikah, dia malah ganti profesi jadi pencuri mobil. Dengan bisa menggasak tiga mobil dalam tiga hari, hidupnya jadi makmur. Kepada istrinya, Rio mengaku jadi pedagang pakaian di Jakarta.

Rio sempat dipenjara karena melarikan mobil orang yang juga penadah barang curiannya. Meski begitu, ia tidak kapok mencuri. Keluar dari penjara, ia menekuni kembali profesi lamanya karena kadung menerima persekot dari penadah. Bedanya, ia tidak lagi beroperasi di Jakarta karena namanya sudah dikenal sebagai penjahat kambuhan. Selain itu, Rio juga berganti modus operandi. Ia membekali dirinya dengan martil untuk menghabisi korbannya jika diperlukan. Mulanya satu martil saj, namun kemudian jadi dua untuk mempersigap aksinya. Sasaran utama kejahatan Rio adalah pengusaha rental mobil. Antara 1997 hingga 2001, Rio diketahui membunuh setidaknya 4 orang. Tiga korban tewas digetok martil dalam dua peristiwa berlainan di Bandung dan Semarang. Seorang korban di Yogyakarta bagaimanapun dapat menyelamatkan diri. Takut perbuatannya terbongkar, Rio lalu beralih ke Purwokerto. Pada 12 Januari 2001, Rio menghabisi Jeje Suraji di kamar no. 135 hotel Rosenda, Baturaden, Purwokerto. Ia mengincar mobil Timor milik penguasaha rental sekaligus pengacara ini. Namun, petugas hotel terlebih dulu mencurigai gerak-gerik Rio. Begitu Rio keluar, kamarnya diperiksa dan ditemukan punuh bercak darah di dinding dan langit-langit. Sementara di tempat tidur, jasad Jeje ditutup dengan selimut.

Inilah akhir petualangan kriminal Rio. Ia yang saat itu masih berada di halaman parkir berhasil diamankan petugas hotel sebelum kemudian diserahkan pada polisi.

Rio Martil

Proses hukum dan eksekusi

Pada 14 Mei 2001, PN Purwokerto menjatuhkan hukuman mati kepada Rio. Dalam persidangan inilah aksi kejahatan Rio terbongkar dan mulailah ia dikenali sebagai Rio Martil oleh khalayak umum. Dilansir dari laporan Kompas, 3 Juni 2001, Rio menyatakan menyesal dan bertekat untuk bertobat, "Saya bersyukur karena tidak mati pada saat sedang melakukan kejahatan. Akan tetapi, mati dalam hukuman, mati ketika dalam proses pertobatan."Selama menunggu eksekusi Rio mula-mula mendekam di LP Kedungpane, Semarang sebelum dipindahkan ke Nusakambangan pada Agustus 2004. Di tahanan barunya inilah Rio membunuh korban kelima, tahanan koruptor Iwan Zulkarnaen. Ia dan Iwan dilaporkan berkawan akrab, bahkan Iwan mengajarinya mengaji. Namun pada 2 Mei 2005, Rio menghabisi Iwan dengan menonjok dan membenturkan kepalanya ke tembok sel setelah korban meledek Rio sudah tidak punya nyali.

Segala prosedur hukum sudah dicoba untuk mencegah eksekusi Rio, sedari banding hingga upaya memohon grasi dan peninjauan kembali. Namun semuanya kandas.Tanggal 8 Agustus 2008 dini hari Rio Martil menjalani hukuman matinya di Karangtengah, Cilongok, Banyumas. Jasadnya dimakamkan di TPU Sipoh di Kejawar, Banyumas. Rio meninggalkan seorang istri bernama Tuti Alawiyah dan tiga orang anak, Jerry, Jessica, dan Jenny. Diwakili istri dan juga lewat pengacaranya, Pranoto, Rio meminta maaf kepada keluarga para korban








Tuesday, 10 November 2020

Kasus Cianciulli si "pembuat sabun Correggio"

 


Pada 1940-an ia dikenal sebagai "pembuat sabun Correggio". Sebuah tim kriminolog hari ini telah merekonstruksi kejahatan: motif, dinamika dan profil kejiwaan.

“Saya memotong di sini, di sini dan di sini: dalam waktu kurang dari 20 menit semuanya selesai, termasuk pembersihan. Saya bahkan bisa membuktikannya sekarang”. Jadi pada tahun 1946, "pembuat sabun dari Correggio", alias Leonarda Cianciulli, menyatakan di pengadilan bahwa dia bersedia menunjukkan bagaimana mayat dihancurkan dalam beberapa gerakan. Dia telah mengakui tiga kejahatan yang dituduhkan kepadanya tanpa mengedipkan kelopak mata dan dengan sikap dingin yang sama dia menyatakan bahwa dia telah membedah korbannya dan membuatkan mereka sabun dan permen.

Demonstrasi itu tidak pernah diizinkan, meskipun legenda mengatakan bahwa terdakwa diberikan oleh hakim tubuh gelandangan yang tak bernyawa untuk dipotong-potong. Dan bahwa dia akan melakukannya tanpa keributan. "Pada kenyataannya, ini hanyalah mitos yang lahir di sekitar sosok Cianciulli, yang tidak ada konfirmasi yang dapat ditemukan dalam dokumentasi resmi," jelas Augusto Balloni, ahli saraf dan profesor Kriminologi di Universitas Bologna, yang mengoordinasikan penelitian terbaru dan mendalam tentang penelitian pertama. Pembunuh berantai Italia abad ke-20, disajikan dalam buku yang akan datang berjudul Caustic soda, rock alum and Greek pitch (Minerva) dari ramuan yang digunakan wanita itu untuk merebus korbannya untuk mendapatkan sabun batangan.

Namun, pertama-tama, faktanya. Leonarda Cianciulli berasal dari Montella (Av), di Irpinia. Tetapi pada tahun 1930, pada usia 37 tahun, dia terpaksa pergi ke utara, bersama suami dan empat anaknya, setelah bencana gempa bumi menghancurkan rumah mereka. Mereka telah mengakar di Correggio, sebuah kota kecil di provinsi Reggio Emilia tempat Leonarda segera menyingsingkan lengan bajunya. Dia dengan demikian telah membangun kembali kehidupan, menaklukkan dirinya sendiri (suaminya pada satu titik telah mengangkat tumit selamanya) ketenaran tertentu dan posisi sosial yang bijaksana berkat perdagangan rumah pakaian bekas dan aktivitas penyihir yang membaca masa depan dan mengambil mata jahat itu.

"Cianciulli terlahir sebagai pemimpin," jelas Roberta Bisi, profesor sosiologi yuridis, penyimpangan dan perubahan sosial di Universitas Bologna, yang menelusuri profil psikoanalisis penjahat tersebut. “Dan seorang wanita menawan, yang dengan pesonanya bertujuan untuk melakukan kontrol mutlak atas orang-orang di sekitarnya, direduksi menjadi hanya“ objek ”untuk dieksploitasi. Satu-satunya kepuasan yang diperoleh dari delusi keagungan dan dari rasa hormat yang disediakan orang lain untuknya ».

Di balik wajah seorang wanita modis itu, antara tahun 1939 dan 1940 Leonarda mematangkan rencana kriminalnya yang kejam. Satu demi satu, dia menarik tiga wanita, kesepian dan tua, ke rumahnya, menyanjung mereka dengan janji kehidupan baru yang jauh dari sana, dia memiliki surat kuasa yang ditandatangani yang dengannya dia dapat menjual semua aset mereka (dan mengantongi uang yang diperoleh) dan dia mengeluarkan mereka dengan kapak dan kemudian menyabuni tubuh mereka. Tak seorang pun akan mencari para wanita malang itu: Cianciulli telah meyakinkan mereka untuk menulis kartu pos yang meyakinkan kepada kerabat, di mana mereka mengumumkan kepergian tanpa jawaban. Tapi apa motifnya? Uang? Kegilaan pembunuhan murni? Untuk memahaminya, lebih baik memulai dari akhir, yaitu dari proses.


 

Cianciulli memasuki dermaga hanya pada tahun 1946. Dia telah ditangkap beberapa bulan setelah kejahatan terakhir, yang terjadi pada bulan November 1940, ketika seorang kerabat dari korban terakhir, yang sama sekali tidak yakin dengan kartu perpisahan, bersikeras bahwa Terang diterangi hilangnya itu. Tetapi persidangan telah ditunda karena pecahnya Perang Dunia Kedua.

Setelah penangkapan Leonarda menjalani pemeriksaan kejiwaan oleh seorang dokter penting saat itu, Filippo Saporito, seorang profesor di Universitas Roma dan direktur rumah sakit jiwa di Aversa. “Saporito menilai wanita yang menderita psikosis histeris dan sakit jiwa total. Bagian awal dari Pengadilan Banding Bologna malah menuduh psikiater tersebut telah "disihir" dan dianggap sebagai penjahat yang sepenuhnya dapat diatribusikan "Balloni menjelaskan" Pada akhirnya, wanita itu dinyatakan "hanya" setengah tegas dalam pikirannya dan bersalah atas tiga pembunuhan. Dia dijatuhi hukuman 30 tahun penjara didahului dengan tiga tahun rawat inap di panti jompo: itu adalah hukuman yang inovatif, bahkan dibandingkan dengan hari ini. Sebelum dipenjara, Cianciulli sebenarnya dipercayakan untuk perawatan medis: sebenarnya dia masuk rumah sakit jiwa dan tidak pernah meninggalkannya. Dia meninggal di sana pada tahun 1970,

Friday, 6 November 2020

Mary Bell si Pembunuh ( Kesenangan Ratu )



Mary Bell si ( Kesenangan Ratu )

Mary Flora Bell adalah seorang wanita Inggris yang, pada tahun 1968, berusia 10–11 tahun, mencekik dua anak laki-laki sampai mati di Scotswood, sebuah distrik di West End of Newcastle upon Tyne. Dia dihukum pada bulan Desember 1968 atas pembunuhan Martin Brown dan Brian Howe.

Pada 25 Mei 1968, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-11, Mary Bell mencekik Martin Brown yang berusia 4 tahun di sebuah rumah terlantar. Dia diyakini telah melakukan kejahatan ini sendirian. Antara saat itu dan pembunuhan kedua, dia dan seorang teman, Norma Joyce Bell (1955–1989; tidak ada hubungannya), berusia 13 tahun, masuk dan merusak kamar anak-anak di Scotswood, meninggalkan catatan yang menyatakan bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Polisi menganggap insiden ini sebagai lelucon.

Pada tanggal 31 Juli 1968, kedua gadis itu mengambil bagian dalam kematian pencekikan Brian Howe yang berusia 3 tahun di gurun di daerah Scotswood yang sama. Laporan polisi menyimpulkan bahwa Mary Bell kemudian kembali ke tubuhnya untuk mengukir huruf "M" di perut bocah itu dan menggunakan gunting untuk memotong sebagian rambutnya, menggaruk kakinya, dan memutilasi alat kelaminnya.

Pada 17 Desember 1968, di Newcastle Assizes, Norma Bell dibebaskan tetapi Mary Bell dihukum karena pembunuhan atas dasar tanggung jawab yang berkurang. Juri mengambil pimpinan dari diagnosisnya oleh psikiater yang ditunjuk pengadilan yang menggambarkannya sebagai menampilkan "gejala klasik psikopati". Hakim, Justice Cusack, menggambarkannya sebagai orang yang berbahaya dan mengatakan dia menimbulkan "risiko yang sangat besar bagi anak-anak lain".  Dia dijatuhi hukuman ditahan atas keinginan Yang Mulia, secara efektif hukuman penjara tidak terbatas. Dia awalnya dikirim ke unit aman Bank Merah di Newton-le-Willows, Lancashire - fasilitas yang sama yang akan menampung Jon Venables, salah satu pembunuh James Bulger, 25 tahun kemudian.

Setelah keyakinannya, Bell menjadi fokus perhatian pers Inggris dan juga dari majalah Jerman Stern. Ibunya berulang kali menjual cerita tentang dia kepada pers dan sering memberikan tulisan kepada wartawan yang dia akui oleh putrinya. Bell sendiri menjadi berita utama pada bulan September 1977 ketika dia melarikan diri sebentar dari penjara terbuka Pengadilan Moor, tempat dia ditahan sejak dipindahkan dari lembaga pelanggar muda ke penjara dewasa setahun sebelumnya. Hukumannya untuk ini adalah kehilangan hak istimewa penjara selama 28 hari.
Untuk sementara waktu, Bell juga tinggal di rumah tahanan anak perempuan di Cumberlow Lodge di South Norwood (di sebuah rumah yang dibangun oleh penemu Victoria William Stanley).




Kehidupan setelah penjara
Pada tahun 1980, Bell yang berusia 23 tahun dibebaskan dari penjara terbuka Askham Grange setelah menjalani hukuman 12 tahun dan diberikan anonimitas (termasuk nama baru), yang memungkinkannya untuk memulai hidup baru. Bell diduga kembali ke Tyneside pada beberapa kesempatan dan telah tinggal di sana selama beberapa waktu setelah pembebasannya. [14] [15] Empat tahun setelah menyelesaikan hukumannya, dia memiliki seorang putri pada 25 Mei 1984. Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang masa lalu ibunya sampai wartawan menemukan lokasi Bell pada 1998 dan pasangan itu harus meninggalkan rumah mereka dengan seprai menutupi kepala mereka.

Anonimitas putri Bell awalnya dilindungi hanya sampai dia mencapai usia 18 tahun. Namun, pada 21 Mei 2003, Bell memenangkan pertempuran Pengadilan Tinggi untuk memiliki anonimitas sendiri dan putrinya diperpanjang seumur hidup. Akibatnya, setiap perintah pengadilan yang secara permanen melindungi identitas seorang terpidana di Inggris kadang-kadang dikenal sebagai "perintah Mary Bell". Perintah tersebut kemudian diperbarui untuk menyertakan cucu perempuan Bell (lahir Januari 2009), yang disebut sebagai "Z". Keberadaan Bell saat ini tidak diketahui.

 

Wednesday, 4 November 2020

Pembunuh Kanibal Dari Jepang

 Jepang Hukum Mati Pembunuh Kanibal



Tokyo - Jepang mengeksekusi tiga pria terpidana mati, termasuk pembunuh kanibal Tsutomu Miyazaki. Pria berusia 45 tahun itu didakwa membunuh 4 anak perempuan dan memakan sebagian tubuh mereka!

Miyazaki dikenal akan obsesinya pada kartun-kartun seksual dan pornografi. Selama persidangan, tim pengacara Miyazaki bersikeras kalau klien mereka itu sakit jiwa dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.

Namun Menteri Kehakiman Jepang Kunio Hatoyama telah menandatangani perintah eksekusi pria kanibal itu. Demikian seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (17/6/2008).

"Kami melaksanakan eksekusi dengan memilih orang-orang yang bisa kami eksekusi dengan perasaan keyakinan dan tanggung jawab," kata Hatoyama pada konferensi pers di Tokyo mengenai Miyazaki yang telah dieksekusi pada Selasa, 17 Juni ini.

Miyazaki tetap dihukum mati meski pengacaranya tengah berupaya mendapatkan pengadilan ulang dengan membawa hasil tes kejiwaan baru atas pembunuh keji itu.

Miyazaki ditangkap pada Juli 1989 dan detail kejahatannya sempat menggemparkan Jepang. Pria itu mengaku membunuh 4 anak perempuan yang berusia antara 4 tahun dan 7 tahun. Dia bahkan memakan sebagian tubuh dari dua korban di antaranya.

Miyazaki memutilasi tubuh korban-korbannya. Dia bahkan tidur di samping mayat-mayat korban dan meminum darah mereka.

Dia juga mengirim surat ke media dengan memakai nama wanita, yang mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Miyazaki bahkan mengirimkan sebuah kotak berisi potongan jasad salah seorang korban ke keluarganya.

Ketika polisi menangkap Miyazaki, mereka menemukan sekitar 6 ribu rekaman video di rumahnya di Saitama, dekat Tokyo . Sebagian besar berisi gambar-gambar mengerikan. Selama proses persidangan kasusnya yang memakan waktu hampir dua dekade, Miyazaki tak pernah sekalipun mengungkapkan penyesalan.

Dia juga menjaga jarak dengan keluarganya. Ayahnya yang tak sanggup menerima perbuatan putranya itu, bunuh diri pada tahun 1994. Namun saat itu Miyazaki malah berujar, "Saya merasa segar."

Selain Miyazaki, dua pembunuh lainnya yang dieksekusi adalah Shinji Mutsuda (37) dan Yoshio Yamasaki (73).