Bencana Akan Menghampirimu

So remember, Look at the Strars and not at your feet.

Hitam gelap Putih bercahaya

The wheel of Life runs.

Lautan itu Luas

There are Still many things we don't know about the World.

Jatuh bukan berarti Punah

We Fall for just a moment then get Up Again.

Berbeda Dikala Sudah Tidak Di Percaya

A single Black dot could Erase everything.

Friday, 9 July 2021

Kengerian Pembunuh Berantai Wanita - Dukun A.S


Ahmad Suradji (populer dipanggil Dukun AS; juga dikenal dengan nama Nasib Kelewang, Datuk; lahir 10 Januari 1949 – meninggal 10 Juli 2008 pada umur 59 tahun) adalah seorang pelaku pembunuhan terhadap 42 orang wanita yang mayatnya dikuburkan di perkebunan tebu di Desa Sei Semayang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara dari tahun 1986 hingga 1997.

Latar Belakang Pelaku

Nama aslinya adalah Nasib. Karena sering menggunakan kelewang saat melakukan pencurian lembu di kawasan Stabat, ia pun dipanggil "Nasib Kelewang" oleh teman-temannya.[1] Nama "Ahmad Suradji" disandangnya setelah keluar dari penjara karena tersandung kasus pencurian lembu, sedangkan nama Datuk diberikan teman-temannya karena ia menikahi tiga kakak beradik kandung dan tinggal serumah.

Sehari-hari Suradji bekerja sebagai petani. Ia hanya lulus SD dan mempunyai tiga orang istri dan sembilan anak. Pihak kepolisian pertama kali menemukan mayat salah seorang korban pada 27 April 1997, seorang wanita berusia 21 tahun bernama Sri Kemala Dewi. Seminggu kemudian, seorang saksi mengatakan bahwa pada hari Dewi menghilang, ia telah mengantarkan Dewi ke tempat tinggal Suradji. Polisi kemudian menemukan setumpuk pakaian dan perhiasan wanita di situ, di antaranya barang-barang milik Dewi. Suradjipun ditangkap.

Apakah Suradji sendiri mengaku bersalah tidak diketahui jelas. Ada sumber-sumber yang menyebut bahwa ia tidak mau mengaku, namun ada pula yang menyatakan bahwa ia telah mengakui perbuatannya. Dalam sebuah laporan, Suradji mengaku membunuh karena hendak menyempurnakan ilmu yang sedang dipelajarinya. Agar ilmunya sempurna, ia harus membunuh 70 orang wanita dan mengisap air liur korban. Ilmu ini sendiri ia dapati dari ayahnya saat ia masih berusia 12 tahun, meskipun perhatiannya terhadap ilmu tersebut baru mulai terasa saat ia mencapai usia 20 tahun.

Eksekusi

Pada tahun 27 April 1998, ia divonis mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan terhadap wanita-wanita tersebut. Ia dieksekusi pada Kamis 10 Juli 2008, tepatnya pukul 22.00 oleh tim eksekusi Brigadir Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sumatra Utara.

Hukuman Mati Ny Astini si Penjagal Maut

Matinya seorang penjagal


Astini Sumiasih atau lebih lengkap sering ditulis oleh media sebagai Nyonya Astini adalah pembunuh berantai dengan motif tersinggung saat ditagih hutang. Astini membunuh tiga penagih hutangnya, antara lain Puji Astutik, Rahayu, dan Sri Astutik. Astini memang terkenal sering meminjam uang kepada tetangga-tetangganya. Kepada Puji Astutik, ia berhutang Rp 20 ribu. Kepada Ibu Sukur atau Rahayu ia berhutang sebesar Rp 1.250.000. Kepada Sri Astutik Wijaya, ia berhutang Rp 250 ribu dan Rp 300 ribu. Semuanya ditolak untuk dibayar dan membuat si penagih berkata-kata kasar. Inilah yang kemudian menjadi dalih tersinggung saat dihina.

Pembunuhan terhadap Puji Astuti dilakukan pada Februari 1996, pukul 16.00 WIB di rumah Astini. Puji Astuti mengeluarkan kata-kata kasar saat menagih utang, yang membuat Astini tersinggung dan meraih sepotong besi lalu menghantamkannya ke kepala Puji. Setelah meregang nyawa, jenazahnya diseret ke dapur dan menutupnya dengan tikar. Pukul 2:00 dinihari, jenazah korban dimutilasi menjadi 10 bagian, yang kemudian ditebar ke berbagai tempat sampah dan sungai di Surabaya.

Potongan tubuh Puji Astuti kemudian ditemukan warga Kampung Wonorejo, Surabaya dalam kantong plastik di Sungai Wonorejo, yang kemudian diamankan polisi dan dan disimpan di kamar jenazah RSUD Dr. Soetomo. Jenazah diidentifikasi oleh keluarga korban, Agus Purwanto yang mengkonfirmasi itu adalah kepala kakanya, Puji Astuti, yang sebelumnya dilaporkan hilang. Kebetulan saksi melihat bahwa terakhir kali Puji Astuti sebelum hilang masuk ke rumah Astini di Kampung Malang.

Polisi segera menahan Astini dan menginterogasinya. Berdasarkan pengakuan Astini, ia melakukan hal serupa kepada Rahayu dan Sri Astutik yang juga hilang dari Kampung Malang. Kejahatannya juga sama persis, bermotif tersinggung karena ditagih hutang dengan kata-kata kasar. Ia juga memotong-motong tubuh keduanya menjadi sepuluh bagian.


Vonis dan Eksekusi

Setelah dihukum mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 17 Oktober 1996, Astini masih berupaya mengulur waktu eksekusi dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sembari menunggu banding, ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sukun Malang, Jatim. Hasilnya, bandingnya ditolak pada Januari 1997. Pengadilan Tinggi Jatim malah menguatkan putusan PN Surabaya. Ia lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 1997 MA kembali menguatkan putusan tersebut. Ia mencoba lagi PK ke MA yang juga ditolak. Permohonan Grasinya kepada Presiden juga tak dikabulkan. 

Sebelum eksekusi, Astini dipindah dari LP Sukun Malang ke Rutan Medaeng, Sidoarjo, lalu menjalani masa isolasi selama lima hari dari 15-19 Maret 2005. Ia dieksekusi pada 20 Maret 2005, dengan cara ditembak di daerah jantung oleh 12 personel regu tembak Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur, dengan enam peluru. Jasadnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah dokter Soetomo Surabaya, Jatim untuk diotopsi. Ia dinyatakan mati pukul 01.20 WIB. 

Pada tanggal 18 Maret 2005, Astini memakan makanan favoritnya berupa roti, cumi-cumi dan buah-buahan. Ia juga meninggalkan tiga pesan sebelum eksekusi.[baca: Permintaan Terakhir Astini Terpenuhi].

Hari eksekusi kemudian diberitahukan secara langsung oleh Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Surabaya Pratikto, SH. Sebab, salah satu aturan pelaksanaan pidana mati adalah jaksa harus memberitahu terpidana selama 3 x 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati. Setelah dieksekusi, jenazah Astini dikuburkan di tempat pemakaman umum Pemerintah Kota Surabaya di Wonokusumo Kidul, Surabaya. Ini sesuai permintaan keluarga Astini agar pemerintah yang mengurus pemakamannya.

Wednesday, 7 July 2021

Kisah Robot Gedek Pembantai Anak Kecil dan Babe Penyodom Anak Jalanan

Robot Gedek

Robot Gedek (Siswanto)

Robot Gedek alias Siswanto menghiasi pemberitaan sekitar tahun 1996 karena aksi kejamnya membantai anak-anak di bawah umur. Dirinya diketahui menyodomi dan membunuh korban dengan cara yang kejam, yakni dengan memotong-motong tubuh korban (mutilasi). Pria tuna wisma dan buta huruf ini terkenal dengan aksinya yang kejam. Sebab dia menyodomi 12 anak di bawah umur, dengan kemudian mereka dibunuh dengan disayat dan dipotong tubuh, sebelum akhirnya dibuang ke beberapa tempat seperti Pondok Kopi, Jakarta Timur dan sekitar rawa-rawa bekas Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat.


Menurut catatan Polres Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, dari 12 korban ini, hanya 8 jenazahnya yang berhasil ditemukan, di antaranya dua korban yakni Rio dan Wisnu yang dimutilasi menjadi beberapa bagian ditemukan di semak-semak Bandara Kemayoran. Siswanto mengaku melakukan itu sendirian. Dia Memotong-motong bagian tangan, kaki, dan kepala anak. Kedua anak ini sebelum dibunuh, terlebih dahulu disodomi. Atas perbuatannya, Robot Gedek ini sempat jadi buronan. Dirinya pun kabur ke daerah Jawa Tengah, hingga akhirnya berhasil dibekuk polisi pada 27 Juli 1996. Dalam sidangnya di Pengadilan Jakarta Pusat, Robot Gedek mengaku tak sadar dalam melakukan aksi kejamnya tersebut.

"Dalam bayangan saya, yang saya bunuh itu adalah ayam," ungkap dia waktu itu.

Meski telah melakukan pembelaan, pengadilan tetap menjatuhkannya hukuman mati dan akhirnya dimasukkan ke LP Nusakambangan, Cilacap. Namun, sebelum hukuman mati dilaksanakan, Robot Godek meninggal dunia lebih dulu karena serangan jantung pada 26 Maret 2007. 

Baikuni alias Babe

Baikuni alias Babe

Tak cuma kisah Robot Gedek. Publik dibuat kaget dengan kekejaman Baikuni alias Babe (59) yang menyodomi anak-anak jalanan. Pria asal Desa Mranggen RT 16/VI Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini dijatuhi hukuman mati karena melakukan sodomi terhadap belasan anak di bawah umur serta pembunuhan berantai terhadap 7 bocah, dengan empat di antaranya dengan cara dimutilasi.

Ditinggal mati sang istri, Babe kemudian kembali lagi ke Ibu Kota mencoba beradu nasib. Dia memulai hidupnya di kawasan Terminal Pulogadung menjadi penjual rokok dan memelihara anak jalanan dengan memberi mereka makan. Pola fikir negatif Babe pun muncul ketika hasrat seksualnya datang. Dirinya mencari pemuas hasratnya. Dia tidak perlu jauh-jauh mencarinya, cukup mengambil satu dari anak-anak jalanan yang dipeliharanya. Belakangan tidak cuma seks yang menyimpang. Jika tak mau melayani nafsu bejatnya, dia tak segan membunuh satu persatu dari mereka.

Aksi keji Babe diperkirakan sejak tahun 1998 dan pembunuhan cara mutilasi baru sejak tahun 2007. Beberapa korban Babe itu sendiri merupakan anak-anak jalanan, di antaranya Arif Kecil, yang mayatnya ditemukan di terminal Pulogadung, Jakarta Timur, dengan tubuh dipotong jadi empat bagian dan tanpa kepala, serta Adi yang mayatnya ditemukan di Pasar Klender, Cakung, Jakarta Timur, dengan tubuh korban dipotong menjadi dua bagian sebelum dibuang ke Pasar Klender, serta beberapa korban Babe lainnya yang dibunuh dengan cara yang sadis.

Dari hasil pemeriksaan psikolog Universitas Indonesia (UI) Prof Sarlito Wirawan bahwa Babe mengidap homoseksual, pedofilia ataupun ketertarikan seksual dengan anak di bawah umur, dan nekrofil yaitu tertarik berhubungan seksual dengan mayat. Kelainan kejiwaan ini dilatarbelakangi oleh masa kecil Babe yang sering mendapat kekerasaan psikologis dan pernah disodomi.

Atas perbuatannya, Babe pun dibekuk jajaran Polda Metro Jaya, serta dijatuhkan hukuman mati oleh Hakim Pengadilan Tinggi

Kasus Pembunuhan Berantai - (Rio Martil)

Antonius Rio Alex Bulo atau lebih dikenal dengan nama Rio Martil (lahir di Sleman, 2 Mei 1978 – meninggal di Karangtengah, Banyumas, 8 Agustus 2008 pada umur 30 tahun) adalah pembunuh berantai yang menghabisi korbannya menggunakan senjata berupa martil. Ia divonis hukuman mati oleh PN Purwokerto pada14 Mei 2001.

Rio Martil

Backgroud sang - Rio Martil 

Tidak banyak hal yang diketahui perihal masa kecil Rio. Namun, sejumlah sumber menyebut sedari kecil ia memang dikenal nakal. Tingkahnya membuat sang orang tua memindahkan Rio kecil dari Sleman ke Jakarta, untuk diasuh kakak sulungnya yang bertaut 12 tahun.

Namun, di Jakarta Rio malah semakin tak terkendali. Terlebih setelah ayahnya tidak lagi mau mengakuinya anak karena Rio menolak pindah agama mengikuti sang ayah. Rio kemudian banyak bergaul dengan preman Senen. Dari sini ia mulai kerap bolos sekolah, sebelum kemudian mengenal alkohol dan ganja. Kekerasan dan kejahatan menjadi karibnya. Beranjak dewasa, Rio menghidupi diri dengan berjualan surat-surat kendaraan palsu. Namun, setelah menikah, dia malah ganti profesi jadi pencuri mobil. Dengan bisa menggasak tiga mobil dalam tiga hari, hidupnya jadi makmur. Kepada istrinya, Rio mengaku jadi pedagang pakaian di Jakarta.

Rio sempat dipenjara karena melarikan mobil orang yang juga penadah barang curiannya. Meski begitu, ia tidak kapok mencuri. Keluar dari penjara, ia menekuni kembali profesi lamanya karena kadung menerima persekot dari penadah. Bedanya, ia tidak lagi beroperasi di Jakarta karena namanya sudah dikenal sebagai penjahat kambuhan. Selain itu, Rio juga berganti modus operandi. Ia membekali dirinya dengan martil untuk menghabisi korbannya jika diperlukan. Mulanya satu martil saj, namun kemudian jadi dua untuk mempersigap aksinya. Sasaran utama kejahatan Rio adalah pengusaha rental mobil. Antara 1997 hingga 2001, Rio diketahui membunuh setidaknya 4 orang. Tiga korban tewas digetok martil dalam dua peristiwa berlainan di Bandung dan Semarang. Seorang korban di Yogyakarta bagaimanapun dapat menyelamatkan diri. Takut perbuatannya terbongkar, Rio lalu beralih ke Purwokerto. Pada 12 Januari 2001, Rio menghabisi Jeje Suraji di kamar no. 135 hotel Rosenda, Baturaden, Purwokerto. Ia mengincar mobil Timor milik penguasaha rental sekaligus pengacara ini. Namun, petugas hotel terlebih dulu mencurigai gerak-gerik Rio. Begitu Rio keluar, kamarnya diperiksa dan ditemukan punuh bercak darah di dinding dan langit-langit. Sementara di tempat tidur, jasad Jeje ditutup dengan selimut.

Inilah akhir petualangan kriminal Rio. Ia yang saat itu masih berada di halaman parkir berhasil diamankan petugas hotel sebelum kemudian diserahkan pada polisi.

Rio Martil

Proses hukum dan eksekusi

Pada 14 Mei 2001, PN Purwokerto menjatuhkan hukuman mati kepada Rio. Dalam persidangan inilah aksi kejahatan Rio terbongkar dan mulailah ia dikenali sebagai Rio Martil oleh khalayak umum. Dilansir dari laporan Kompas, 3 Juni 2001, Rio menyatakan menyesal dan bertekat untuk bertobat, "Saya bersyukur karena tidak mati pada saat sedang melakukan kejahatan. Akan tetapi, mati dalam hukuman, mati ketika dalam proses pertobatan."Selama menunggu eksekusi Rio mula-mula mendekam di LP Kedungpane, Semarang sebelum dipindahkan ke Nusakambangan pada Agustus 2004. Di tahanan barunya inilah Rio membunuh korban kelima, tahanan koruptor Iwan Zulkarnaen. Ia dan Iwan dilaporkan berkawan akrab, bahkan Iwan mengajarinya mengaji. Namun pada 2 Mei 2005, Rio menghabisi Iwan dengan menonjok dan membenturkan kepalanya ke tembok sel setelah korban meledek Rio sudah tidak punya nyali.

Segala prosedur hukum sudah dicoba untuk mencegah eksekusi Rio, sedari banding hingga upaya memohon grasi dan peninjauan kembali. Namun semuanya kandas.Tanggal 8 Agustus 2008 dini hari Rio Martil menjalani hukuman matinya di Karangtengah, Cilongok, Banyumas. Jasadnya dimakamkan di TPU Sipoh di Kejawar, Banyumas. Rio meninggalkan seorang istri bernama Tuti Alawiyah dan tiga orang anak, Jerry, Jessica, dan Jenny. Diwakili istri dan juga lewat pengacaranya, Pranoto, Rio meminta maaf kepada keluarga para korban