Astini Sumiasih atau lebih lengkap sering ditulis oleh media sebagai Nyonya Astini adalah pembunuh berantai dengan motif tersinggung saat ditagih hutang. Astini membunuh tiga penagih hutangnya, antara lain Puji Astutik, Rahayu, dan Sri Astutik. Astini memang terkenal sering meminjam uang kepada tetangga-tetangganya. Kepada Puji Astutik, ia berhutang Rp 20 ribu. Kepada Ibu Sukur atau Rahayu ia berhutang sebesar Rp 1.250.000. Kepada Sri Astutik Wijaya, ia berhutang Rp 250 ribu dan Rp 300 ribu. Semuanya ditolak untuk dibayar dan membuat si penagih berkata-kata kasar. Inilah yang kemudian menjadi dalih tersinggung saat dihina.
Pembunuhan terhadap Puji Astuti dilakukan pada Februari 1996, pukul 16.00 WIB di rumah Astini. Puji Astuti mengeluarkan kata-kata kasar saat menagih utang, yang membuat Astini tersinggung dan meraih sepotong besi lalu menghantamkannya ke kepala Puji. Setelah meregang nyawa, jenazahnya diseret ke dapur dan menutupnya dengan tikar. Pukul 2:00 dinihari, jenazah korban dimutilasi menjadi 10 bagian, yang kemudian ditebar ke berbagai tempat sampah dan sungai di Surabaya.
Potongan tubuh Puji Astuti kemudian ditemukan warga Kampung Wonorejo, Surabaya dalam kantong plastik di Sungai Wonorejo, yang kemudian diamankan polisi dan dan disimpan di kamar jenazah RSUD Dr. Soetomo. Jenazah diidentifikasi oleh keluarga korban, Agus Purwanto yang mengkonfirmasi itu adalah kepala kakanya, Puji Astuti, yang sebelumnya dilaporkan hilang. Kebetulan saksi melihat bahwa terakhir kali Puji Astuti sebelum hilang masuk ke rumah Astini di Kampung Malang.
Polisi segera menahan Astini dan menginterogasinya. Berdasarkan pengakuan Astini, ia melakukan hal serupa kepada Rahayu dan Sri Astutik yang juga hilang dari Kampung Malang. Kejahatannya juga sama persis, bermotif tersinggung karena ditagih hutang dengan kata-kata kasar. Ia juga memotong-motong tubuh keduanya menjadi sepuluh bagian.
Vonis dan Eksekusi
Setelah dihukum mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 17 Oktober 1996, Astini masih berupaya mengulur waktu eksekusi dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sembari menunggu banding, ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sukun Malang, Jatim. Hasilnya, bandingnya ditolak pada Januari 1997. Pengadilan Tinggi Jatim malah menguatkan putusan PN Surabaya. Ia lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 1997 MA kembali menguatkan putusan tersebut. Ia mencoba lagi PK ke MA yang juga ditolak. Permohonan Grasinya kepada Presiden juga tak dikabulkan.
Sebelum eksekusi, Astini dipindah dari LP Sukun Malang ke Rutan Medaeng, Sidoarjo, lalu menjalani masa isolasi selama lima hari dari 15-19 Maret 2005. Ia dieksekusi pada 20 Maret 2005, dengan cara ditembak di daerah jantung oleh 12 personel regu tembak Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur, dengan enam peluru. Jasadnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah dokter Soetomo Surabaya, Jatim untuk diotopsi. Ia dinyatakan mati pukul 01.20 WIB.
Pada tanggal 18 Maret 2005, Astini memakan makanan favoritnya berupa roti, cumi-cumi dan buah-buahan. Ia juga meninggalkan tiga pesan sebelum eksekusi.[baca: Permintaan Terakhir Astini Terpenuhi].
Hari eksekusi kemudian diberitahukan secara langsung oleh Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Surabaya Pratikto, SH. Sebab, salah satu aturan pelaksanaan pidana mati adalah jaksa harus memberitahu terpidana selama 3 x 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati. Setelah dieksekusi, jenazah Astini dikuburkan di tempat pemakaman umum Pemerintah Kota Surabaya di Wonokusumo Kidul, Surabaya. Ini sesuai permintaan keluarga Astini agar pemerintah yang mengurus pemakamannya.